A. ILMU PENGETAHUAN,TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan
adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan
pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia . Segi-segi
ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan
kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu
diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan
sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan
berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji
dengan seperangkat metode yang diakui
dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk
karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang
dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari istemologepi.
Contoh:
Ilmu Alam hanya
bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani
(materiil saja). Ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak
matahari. Ilmu Psikologi
hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke
dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Ilmu psikologi menjawab
apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat.
Syarat-syarat
ilmu
Berbeda dengan
pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan
mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat
ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam
yang telah ada lebih dahulu.
Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri
dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun
bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena
masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah
kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut
kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek
penunjang penelitian. Metodis adalah
upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu
untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani
“Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode
tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
Sistematis.
Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus
terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk
suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang
tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu
yang ketiga.
Universal.
Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum
(tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180ยบ. Karenanya
universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial
menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan
ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk
mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks
dan tertentu pula.
Teknologi
Teknologi adalah
metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis; ilmu pengetahuan terapan atau
dapat pula diterjemahkan sebagai keseluruhan sarana untuk menyediakan
barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Dalam memasuki
Era Industrialisasi, pencapaiannya sangat ditentukan oleh penguasaan teknologi
karena teknologi adalah mesin penggerak pertumbuhan melalui industri. Sebagian
beranggapan teknologi adalah barang atau sesuatu yang baru. namun, teknologi
itu telah berumur sangat panjang dan merupakan suatu gejala kontemporer. Setiap
zaman memiliki teknologinya sendiri.
Kemajuan Teknologi
Dalam bentuk
yang paling sederhana, kemajuan teknologi dihasilkan dari pengembangan
cara-cara lama atau penemuan metode baru dalam menyelesaikan tugas-tugas
tradisional seperti bercocok tanam, membuat baju, atau membangun rumah.
Ada tiga
klasifikasi dasar dari kemajuan teknologi yaitu :
Kemajuan
teknologi yang bersifat netral (bahasa Inggris: neutral technological progress)
Terjadi bila
tingkat pengeluaran (output) lebih tinggi dicapai dengan kuantitas dan
kombinasifaktor-faktor pemasukan (input) yang sama.
Kemajuan
teknologi yang hemat tenaga kerja (bahasa Inggris: labor-saving technological
progress)
Kemajuan
teknologi yang terjadi sejak akhir abad kesembilan belas banyak ditandai oleh
meningkatnya secara cepat teknologi yang hemat tenaga kerja dalam memproduksi
sesuatu mulai dari kacang-kacangan sampai sepeda hingga jembatan.
Kemajuan
teknologi yang hemat modal (bahasa Inggris: capital-saving technological
progress) Fenomena yang
relatif langka. Hal ini terutama disebabkan karena hampir semua riset teknologi
dan ilmu pengetahuan di dunia dilakukan di negara-negara maju, yang lebih
ditujukan untuk menghemat tenaga kerja, bukan modalnya.
Pengalaman di
berbagai negara berkembang menunjukan bahwa campur tangan langsung secara
berlebihan, terutama berupa peraturan pemerintah yang terlampau ketat, dalam
pasar teknologi asing justru menghambat arus teknologi asing ke negara-negara
berkembang.
Di lain pihak
suatu kebijaksanaan ‘pintu yang lama sekali terbuka’ terhadap arus teknologi
asing, terutama dalam bentuk penanaman modal asing (PMA), justru menghambat
kemandirian yang lebih besar dalam proses pengembangan kemampuan teknologi
negara berkembang karena ketergantungan yang terlampau besar pada pihak
investor asing, karena merekalah yang melakukan segala upaya teknologi yang
sulit dan rumit.
ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN NILAI
Ilmu pengetahuan
dan teknologi sering dikaitkan dengan nilai atau moral. Hal ini besar
perhatiannya tatkala dirasakan dampaknya melalui kebijaksanaan pembangunan,
yang pada hakikatnya adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penerapan ilmu
pengetahuan khususnya teknologi sering kurang memperhatikan masalah nilai,
moral atau segi-segi manusiawinya. Keadaan demikian tidak luput dari falsafah
pembangunannya itu sendiri, dalam menentukan pilihan antara orientasi produksi
dengan motif ekonomi yang kuat, dengan orientasi nilai yang menyangkut
segi-segi kemanusiaan yang terkadang harus dibayar lebih mahal.
Ilmu dapatlah
dipandang sebagai produk, sebagai proses, dan sebagai paradigma etika (Jujun S.
Suriasumantri, 1984). Ilmu dipandang sebagai proses karena ilmu merupakan hasil
darikegiatan sosial, yang berusaha memahami alam, manusia dan perilakunya baik
secara individu atau kelompok. Apa yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan
seperti sekarang ini, merupakan hasil penalaran (rasio) secara objektif. Ilmu
sebagai produk artinya ilmu diperoleh dari hasil metode keilmuwan yang diakui
secara umum dan universal sifatnya. Oleh karena itu ilmu dapat diuji kebenarannya,
sehingga tidak mustahil suatu teori yang sudah mapan suatu saat dapat
ditumbangkan oleh teori lain. Ilmu sebagai ilmu, karena ilmu selain universal,
komunal, juga alat menyakinkan sekaligus dapat skeptis, tidak begitu saja mudah
menerima kebenaran.
IImu adalah
bukan tujuan tetapi sebagai alat atau sarana dalam rangka meningkatkan taraf
hidup manusia. dengan memperhatikan dan mengutamakan kodrat dan martabat
manusia serta menjaga kelestarian lingkungan alam.
Sikap ilmuwan dibagi menjadi dua golongan :
·
Golongan yang menyatakan ilmu
dan teknologi adalah bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis
maupun secara aksiologis, soal penggunaannya terserah kepada si ilmuwan itu
sendiri, apakah digunakan untuk tujuan baik atau tujuan buruk. Golongan ini
berasumsi bahwa kebenaran itu dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga
nilai-nilai kemanusiaan Iainnya dikorbankan demi teknologi.
·
Golongan yang menyatakan bahwa
ilmu dan teknologi itu bersifat netral hanya dalam batas-batas metafisik
keilmuwan, sedangkan dalam penggunaan dan penelitiannya harus berlandaskan pada
asas-asas moral atau nilai-nilai. golongan ini berasumsi bahwa ilmuwan telah
mengetahui ekses-ekses yang terjadi apabiia ilmu dan teknologi disaIahgunakan.
Nampaknya
iImuwan goiongan kedua yang patut kita masyarakatkan sikapnya sehingga ilmuwan
terbebas dari kecenderungan “pelacuran” dibidang ilmu dan teknologi, dengan
mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Upaya untuk
menjinakkan teknologi diantaranya :
·
Mempertimbangkan atau kalau
perlu mengganti kriteria utama dalam
·
menolak atau menerapkan suatu
inovasi teknologi yang didasarkan pada
·
keuntungan ekonomis atau
sumbangannya kepada pertumbuhan ekonomi.
·
Pada tingkat konsekuensi
sosial, penerapan teknologi harus merupakan hasil kesepakatan ilmuan sosial
dari berbagai disiplin ilmu.
KEMISKINAN
Kemiskinan
lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang pokok. dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian,
tempat berteduh, dB. (Emil Salim, Kemiskinan merupakan tema sentral dari
perjuangan bangsa, sebagai inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan
bangsa, dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan
makmur.Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal: Persepsi manusia
terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, Posisi manusia dalam lingkungan sekitar,
dan Kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi.
Atas dasar
ukuran ini maka mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
·
Tidak memiliki faktor produksi
sendiri seperti tanah, modal, keterampilan,dsb.;
·
Tidak memiliki kemungkinan
untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri, seperti untuk
memperoleh tanah garapan atau modal usaha:
·
Tingkat pendidikan mereka
rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar karena harus membantu orang tua
mencari tambahan penghasilan;
·
Kebanyakan tinggal di desa
sebagai pekerja bebas self employed), berusaha apa saja;
·
Banyak yang hidup di kota
berusia muda, dan tidak mempunyai keterampilan.
Pola relasi
dalam struktur sosial ekonomi ini dapat diuraikan sebagai berikut :
Pola relasi
antara manusia (subjek) dengan sumber-sumber kemakmuran ekonomi seperti
alat-alat produksi, fasilitas-fasilitas negara, perbankan, dan kekayaan sosial.
Apakah ini dimiliki, disewa, bagi-hasil, gampang atau sulit bagi atau oleh
subjek tersebut.
Pola relasi
antara subjek dengan hasil produksi. Ini menyangkut masalah distribusi hasil,
apakah memperoleh apa yang diperlukan sesuai dengan kelayakan derajat hidup
manusiawi. Pola relasi
antara subjek atau komponen-komponen sosial-ekonomi dalam keseluruhan mata
rantai kegiatan dengan bantuan sistem produksi. Dalam hal iniadalah mekanisme
pasar, bagaimana posisi dan peranan manusia sebagai subjek dalam berfungsinya
mekanisme tersebut.
AGAMA DAN
MASYARAKAT
Kaitan agama
dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi
penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi
rasional tentang ati dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan
maut menimbulkan relegi dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman
agama para tasauf.
Bukti-bukti itu
sampai pada pendapat bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang final
dan ultimate. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu
dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan
masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan
sosial dan invidu dengan masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis. Peraturan agama
dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative
atau menunjuk kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Contoh kasus
akibat tidak terlembaganya agama adalah “anomi”, yaitu keadaan disorganisasi
sosial di mana bentuk sosial dan kultur yang mapan jadi ambruk. Hal ini,
pertama, disebabkan oleh hilangnya solidaritas apabila kelompok lama di mana individu
merasa aman dan responsive dengan kelompoknya menjadi hilang. Kedua, karena
hilangnya consensus atau tumbangnya persetujuan terhadap nilai-nilai dan norma
yang bersumber dari agama yang telah memberikan arah dan makna bagi kehidupan
kelompok.
1. Fungsi Agama
Ada tiga aspek
penting yang selalu dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam
masyarakat, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu
merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam
perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama
memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan adalah suatu
sistem, atau sejauh mana agama dapat mempertahankan keseimbangan pribadi
melakukan fungsinya. Pertanyaan tersebut timbul karena sejak dulu hingga
sekarang, agama masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah
fungsi.
Manusia yang
berbudaya, menganut berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola
mempengaruhi perilaku, bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi
di mana peranan dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta penolakan
penampilan, tapi yang bertindak, berpikir dan merasa adalah individu itu
sendiri.
Teori
fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan
sosial, perasaan agama, sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga
sosial yang menjawab kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai
duniawi, tapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi
transdental.
Aksioma teori di
atas adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya.
Teori tersebut juga memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan
pengalaman” sebagai dasar dari karakteristik eksistensi manusia. Hali itu
meliputi, Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting
bagi keamanan dan kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu
sendiri. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi
kondisi hidupnya adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik
antara kondisi lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan.
Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari
berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Jadi, seorang
fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri
dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang
sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi agama
terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat.
Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber
kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar
manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial
mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya
persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat,
atau mempengaruhi adat-istiadat.
Fungsi agama
dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersifat
sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu
mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat
duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi. Fungsi agama di
sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama
baik antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama
sebagai sosialisasi individu adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan
membutuhkan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan
aktifitasnya dalam masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir
pengembangan kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi”
anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk
memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai
tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu. Masalah
fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut
Roland Robertson (1984), dimensi komitmen agama diklasifikasikan menjadi :
A.
Dimensi keyakinan mengandug
perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan
teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran tertentu.
B.
Praktek agama mencakup
perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan
komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan
seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia,
berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan.
C.
Dimensi pengalaman
memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu
orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang
langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan
suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
D.
Dimensi pengetahuan dikaitkan
dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki
informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab
suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
E.
Dimensi konsekuensi dari
komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan
citra pribadinya.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama.
Akibatnya adalah masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris
berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan,
sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan
pengorbanan lingkungan yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak masyarakat
sekular tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya,
sediktnya peranan dalam pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan
agama.
Umumnya,
Kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan
pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan
bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya. Hal itu
menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler mampu mempertahankan
ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan institusional apabila
pengaruh agama sudah berkurang.
2. Pelembagaan Agama
Agama sangat universal,
permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama,
maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami
lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta
fungsi dan struktur dari agama.
Dimensi ini
mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan
pengetahuan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat
diterima sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi
itu tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris. Menurut
Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat
mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara
utuh.
a.
Masyarakat yang Terbelakang dan
Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe
ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama
yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok
keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain.
Sifat-sifatnya: Agama memasukkan
pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak. Nilai agama
sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat
dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra
keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.
Mayarakat-masyarakat
Praindustri yang Sedang Berkembang Masyarakatnya
tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan
kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang
sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi
dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan
sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan
terhadap adat-istiadat.
Pendekatan
rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan
berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu
akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih
banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan
di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang
kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama
yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui
wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi
kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya,
tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang
memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan
dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua
kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan
manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat
keagamaan. Adanya
organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi
fungsi,juga memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan
adatif.
Pengalaman tokoh
agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk
perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga.
Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis
kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan
pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas
pada orang yang mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami
“wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi
dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga
keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pola ide-ide dan
keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya
pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah
haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti
Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah
Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan
symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan
sebagainya.
Adam dan Hawa
dalam keadaan terpisah, kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi
rahmat kepada kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S
al-A’raf : 23).
Setelah itu
Allah SWT memerintahkan Adam untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk
mengunjunginya). Saat sampai di suatu tempat (Arafah= tahu, kenal), maka
bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir dari surge. Sebab itu dalam
pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf (singgah).
Nama nabi
Ibrahim a.s selalu dikaitkan dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam
(Kiblatnya Islam). Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa
Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari
Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya
meninggalkan istri dan putranya. Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu
saja Siti Hajar menjadi khawatir dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air
ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali.
Setelah itu
dengan kuasa Tuhan, memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air
Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh
kali di bukit Shafa dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung
jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam
samudera cinta.
Kurban dikaitkan
resmi dengan ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim
a.s yang diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s,
untuk menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan,
syetan sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah
tersebut. Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu
berasal. Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji
diwajibkan melempar jumrah (batu).
Sewaktu Ismail
akan disembelih oleh Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor
gibas (domba) jantan. Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi
kesana. Barang siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya
Allah Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
Jadi, kewajiban
tersebut, esensinya adalah evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama
yang penting. Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”, “sejarah”,
“keesaan”, “ideology islam”, dan “ummah”. Organisasi
keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh
kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah,
sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang
menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran
telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah.
Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari
kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi
’anil munkar)
Dari contoh
sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide,
ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi.
Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan
(ibadat), dan tingkat organisasi.
Tampilnya
organisasi agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman
beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi,
fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan
fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak
organisasi keagamaan.
Agama, Konflik dan Masyarakat
Secara sosiologis,
Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam
dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang
niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah
memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama
secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena
pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi
atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang
dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat
ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti)
rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk
keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan
inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal
keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang
muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan
Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah
multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal
ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri,
dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik
yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama.
Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang
dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan
dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga
terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang
dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus
perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah
ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi
oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan
hak.
Permasalah
konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai
kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29
Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama
dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era
Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di
Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri
ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan
beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong
menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag
secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang
dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama
yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai
kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama.
Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari
sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Konflik yang ada dalam Agama dan Masyarakat
Di beberapa
wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan
toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas,
persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya
sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang
disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam
masyarakat.
Banyak konflik
yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama.
Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang
dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan
dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga
terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang
dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus
perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah
ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi
oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak
mendapatkan hak.
Permasalah
konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai
kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29
Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama
dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era
Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di
Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri
ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan
beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong
menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag
secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang
dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama
yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai
kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama.
Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari
sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
DAFTAR
PUSTAKA :