MAUNISA DAN KEBUDAYAAN
HAKEKAT MANUSIA DAN IMPLIKASINYA
DALAM PENDIDIKAN
Pendidikan
secara sederhana dikatakan sebagai sebuah proses “memanusiakan manusia”,
Abdurrahman Shalih (t.th;47) mengatakan “man is the core of the educational
process”, bahwa manusia adalah inti dari sebuah proses pendidikan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa manusia adalah obyek dan sekaligus pelaku pendidikan. Sebab
itu sejauh mana pendidikan itu diformulasikan dan diimplementasikan harus
selalu disandarkan pada konsepsi tentang hakekat manusia. Merumuskan dan
mengembangkan tujuan pendidikan, materi pendidikan, metode, kurikulum, evaluasi
pendidikan, dan seterusnya harus selalu dikonsultasikan pada filsafat dan
pemahaman tentang hakekat manusia itu sendiri.
Pembahasan ini
berusaha memahami hakekat manusia sebagai sebuah kajian ontologi Pendidikan
Islam. Ada beberapa hal yang dikaji dalam tulisan ini yaitu; pemahaman tentang
hakekat manusia; poses kejadian manusia; potensi-potensi dasar manusia; tugas
dan fungsi penciptaan manusia; serta implikasinya dalam pendidikan.
B. Pemahaman tentang hakekat manusia
Para ahli
mempunyai pemahaman yang beragam dalam memahami hakekat tentang manusia, hal
ini dapat kita lihat dari berbagai pendapat berikut;
Charles Robert
darwin (1809-1882) menetapkan manusia sejajar dengan binatang, karena
terjadinya manusia dari sebab-sebab mekanis, yaitu lewat teori descendensi
(ilmu turunan) dan teori natural selection (teori pilihan alam)
Ernest Haeckel
(1834-1919) menyatakan manusia dalam segala hal menyerupai binatang beruas
tulang belakang, yakni binatang menyusui
Aristoteles
(384-322) memeberikan devinisi manusia sebagai binatang yang berakal sehat yang
mampu mengeluarkan pendapatnya, dan berbicara berdasarkan pikirannya (the
animal than reasons). Disamping itu manusia juga binatang yang berpolitik (zoon
politicon) dan binatang yang bersosial (social animal)
Harold H. Titus
menempatkan manusia sebagai organisme hewani yang mampu mempelajari dirinya
sendiri dan mampu menginterpretasi terhadap bentuk-bentuk hidup serta dapat
menyelidiki makna eksistensi insani (Endang Saifudin, dalam Muhaimin, 1993;31)
Ahli mantiq
mendevinisikan manusia sebagai “al-insan hayawanun nathiq” (manusia adalah
hewan yang berbahasa)
Dalam Islam
manusia dipandang sebagai manusia, bukan sebagai binatang, karena manusia
memiliki derajat yang tinggi, bertanggung jawab atas segala yang diperbuat,
serta makhluk pemikul amanah yang berat. Berikut pemahaman para pemikir Islam
tentang manusia;
Al-Farabi,
Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd menyatakan bahwa hakekat manusia itu terdiri dari
dua komponen penting, yaitu;
a) Komponen jasad. Menurut Farabi, komponen
ini berasal dari alam ciptaan yang mempunyai bentuk, rupa, berkualitas,
berkadar, bergerak dan diam, serta berjasad dan terdiri atas organ. Al-Ghazali
memberikan sifat jasad manusia yang ada dalam bumi ini yaiu, dapat bergerak,
memiliki rasa, berwatak gelap dan kasar, dan ini tidak berbeda dengan
benda-benda lain, sedangkan Ibnu Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad
merupakan komponen materi. (Ahmad Daudy, 1989:58-59)
b) Komponen jiwa. Menurut farabi, komponen
jiwa berasal dari alam perintah (alam kholiq) yang mempunyai sifat berbeda
dengan jasad manusia. Hal ini karena jiwa merupakan roh dari perintah Tuhan
walaupun tidak menyamai Dzat-Nya. Menurut al-Ghazali, jiwa ini dapat berfikir,
mengingat, mengetahui, dan sebagainya, sedangkan unsur jiwa merupakan unsur
rohani sebagai penggerak jasad untuk melakukan kerjanya yang termasuk alam
ghaib. Bagi Ibnu Rusyd jiwa adalah sebagai kesempurnaan awal bagi jasad alami
yang organik (Ahmad Daudy, 1989; 59)
Ibnu Miskawih,
menambahkan satu unsur lagi disamping unsur jasad dan jiwa, yaiu unsur hayah
(unsur hidup). Hal ini karena pada diri manusia ketika dalam bentuk embrio
(perpaduan antara ovum dan sperma) sudah terdapat kehidupan walaupun roh belum
ditiupkan, sedangkan hayah sendiri terdapat pada sperma dan ovum yang membuat
embrio hidup dan berkembang. Jadi hayah bukan komponen jasmanai yang berasal
dari tanah dan bukan pula komponen jiwa atau rohani yang ditiupkan oleh
Allah.(Syahminan Zaini, 1984:23)
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa manusia pada dasarnya dapat ditempatkan dalam tiga
kategori, yaitu;
Manusia sebagai
makhluk biologis (al-Basyar) pada hakekatnya tidak berbeda dengan
makhluk-makhluk biotik lainnya walaupun struktur organnya berbeda, karena
struktur organ manusia lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.
Manusia sebagai
makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah, qolb, ‘aqal.
Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang tertinggi martabatnya,
yang berbeda dengan makhluk lainnya, artinya apabila potensi psikis tersebut
tidak digunakan, manusia tak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina.
Manusia sebagai
mahluk sosial mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial terhadap alam semesta,
ini disebabkan karena manusia tidak hanya sebagai Abdullah tetapi juga sebagai
khalifatullah untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan dalam kehidupan dunia
dan akherat.
C. Proses kejadian manusia dan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya.
Dalam al-Qur’an
banyak ayat-ayat yang berbicara tentang proses kejadian manusia, ada yang
menerangkan secara global, seperti pada ayat; Qs.al-Insan ayat 2, Qs. As-Sajdah
ayat 8-9, Qs. An-Najm ayat 32, dan seterusnya. Kemudian ada yang menerangkan
secara rinci seperti Qs. Al-Mu’minun ayat 12-14, dan Qs. Al-Hajj ayat ;5.
Diantara
ayat-ayat tersebut banyak yang memakai redaksi
“khalaqa” dari pada “ja’ala”, hal ini mengandung makna tersendiri dalam
konteks pembicaraan penciptaan manusia. Kata “khalaqa” mengandung pengertian “ibda’
al-syai’ min ghairi ashl, wa la ihtida” (penciptaan sesuatu tanpa asal/pangkal
dan tanpa contoh terlebih dahulu), sedangkan kata “ja’ala” yang biasa diartikan
menjadikan, merupakan lafadz yang bersifat umum yang berkaitan dengan semua
aktivitas dan perbuatan. M.Quraish Syihab, mengatakan lafadz “khalaqa”
memberikan aksentuasi tentang kehebatan dan kebesaran atau keagungan Allah
dalam ciptaan-Nya, sedangkan “ja’ala” mengandung aksentuasi terhadap manfaat
yang harus atau dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu. Seperti pada
Qs. Ar-rum;21 dan Ali Imran ; 190-191.
Secara umum
manusia berasal dari tanah (thin, turab atau al-ardl), ini dapat dipahami bahwa
ternyata dalam tubuh manusia itu terdapat unsur kimiawi yang ada dalam tanah.
Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dibentuk dari komponen-komponen yang
dikandung dalam tanah, yaitu komponen atom yang membentuk molekul yang terdapat
dalam tanah dan jasat manusia. Kata thin dan turab, memiliki makna yaitu tanah
yang mengandung air, dari sinilah tumbuh segala tanaman yang sangat dibutuhkan
oleh manusia sebagai makanan. Intisari makanan tersebut sebagiannya akan
membentuk spermatozoa, yakni sel mani (ma’in mahin/ air yang hina) yang apabila
masuk ke dalam sel telor bisa menimbulkan pembuahan, inilah barangkali yang
ditunjukkan oleh ayat “min sulalah min thin”.
Selanjutnya
proses penciptaan manusia, seperti yang ditunjukkan dalam Qs.al-Mu’minun,
dilakukan dalam dua fase, fase pertama, yaitu fase fisik/materi, melalui
tahapan; (1)nuthfah; (2)’alaqah; (3)mudlghah atau pembentuk organ-organ
penting; (4)’idham (tulang); dan (5)lahm (daging). Dan fase kedua yaitu fase
non-materi/immateri, seperti yang ditunjuk oleh ayat “tsumma ansya’nahu khalqan
akhar”. Tahapan-tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut;
Pertama, tahap
nuthfah. Tahap atau periode ini biasa dinamakan “periode ovum” dimana pertemuan
antara sel kelamin bapak (sperma) dan sel kelamin ibu (ovum) bersatu kedua
intinya dan membentuk suatu zat baru dalam rahim ibu (fii qaraarin makiin).
Pertemuan antara kedua sel tersebut dalam al-Qur’an disebut “nuthfah amsaj”,
yakni percampuran air mani laki-laki dan sel telor perempuan, melalui suatu
proses sehingga memunculkan “ma’in da-fiq” atau air yang terpancar ketika
berkumpul (bersenggama).
Kedua, tahap
‘alaqah. Para mufassir menerjemahkan ‘alaqah dengan segumpal darah atau darah
yang membeku, seperti al-Lusi, al-Maraghi, Ath-Thabathaba’I HAMKA, dan sebagainya. Tetapi sementara ahli
kedokteran, antara lain Mauricce Bucaille menyatakan bahwa terjemahan yang
tepat untuk ‘alaqah adalah “sesuatu yang melekat”, dan ini sesuai dengan
penemuan sains moderen, bahwa setelah proses nuthfah atau periode ovum
terjadilah zat baru yang kemudian membelah menjadi dua, empat, delapan dan
seterusnya sambil bergerak menuju ke kantong kehamilan dan melekat, berdempet
serta masuk ke dinding rahim, inilah yang kemudian disebut ‘alaqah.
Ketiga, tahap
mudlghah. Ibnu Katsir mengatakan mudlghah sebagai “qit’ah ka al-bidl’ah min
al-lahm la syaki fiha wala takhthith”, yakni sepotong daging yang tidak
berbentuk dan tidak berukuran, mudlghah inilah yang kemudian membentuk
organ-organ penting dalam perkembangan selanjutnya. Proses selanjutnya,
keempat, yaitu ‘idham (tulang) yang dibentuk dari elemen-elemen atau
bahan-bahan yang terdapat dalam mudlghah, dan Kelima adalah lahm (daging) yang
juga dibentuk dari elemen mudlghah.
Setelah itu
Allah menjadikannya makhluk yang berbntuk lain (…tsumma ansya’naahu khalqan
akhar”), yakni bukan sekedar fisik/materi/jasad, tetapi juga non-fisik/immateri.
“al—insya’” disini mengandung arti “I-jad al-syai’ wa tarbiyatuh”
(mewujudkan/mengadakan sesuatu dan memeliharanya). Redaksi ayat tersebut tidak
memakai kata “al-khalq” yang berarti juga menciptakan, hal ini menurut
ath-Thabathaba’I, karena pemakaian kata “al-insya’” menunjukkkan terjadinya
sesuatu hal yang baru yang tidak dicakup dan tidak diiringi oleh materi
sebelumnya. Pada tahap inilah, menurut Sayyid Qutub, merupakan tahap yang
membedakan manusia dengan hewan atau makhluk lainnya, pada tahap tersebut
manusia memiliki ciri-ciri istimewa.
Dari uraian
tentang proses kejadian manusia tersebut, maka dapat ditemukan nilai-nilai
pendidikan sebagai berikut;
Bahwa salah
satu cara yang ditempuh oleh al-Qur’an dalam menghantarkan manusia untuk
menghayati petunjuk-petunjuk Allah ialah dengan cara memperkenalkan jati diri
manusia itu sendiri, bagaimana asal kejadiannya, dari mana datangnya, dan
seterusnya. Di sisi lain juga ditegaskan bahwa mengenal manusia merupakan media
untuk mengenal Tuhan-Nya (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”).
Bahwa proses
kejadian manusia menurut al-Qur’an pada dasarnya melalui dua proses dengan enam
tahap, yaitu proses fisik/jasad dan prodses non-fisik/immateri. Secara fisik
manusia berproses dari nuthfah, kemudian ‘alaqah, mudlghah, ‘idham dan lahm
yang membungkus ‘idham atau mengikuti bentuk rangka yang menggambarkan bentuk
manusia. Sedangkan secara non-fisik, yaitu merupakan tahap
penghembusan/peniupan roh pada diri manusia sehingga ia berbeda dengan makhluk
lainnya. Pada saat ini menusia memiliki berbagai potensi, fitrah dan hikmah
yang hebat dan unik, baik lahir maupun batin. Pendidikan dalam Islam antara
lain diarahkan pada pengembangan jasmani dan rohani manusia secara harmonis,
serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu.
Bahwa proses
kejadian manusia yang tertuang dalam al-Qur’an tersebut ternyata semakin
diperkuat oleh penemuan-penemuan ilmiah, sehingga lebih memperkuat keyakinan
manusia akan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Pendidikan dalam Islam
antara lain juga diarahkan kepada pengembangan semangat ilmiah untuk mencari
dan menemukan kebenaran ayat-ayat-Nya
D. Potensi-potensi dasar manusia
Dalam diri manusia
terdapat alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar yang harus diperhatikan
dalam pendidikan, Abdul fatah Jalal
(1977;103), mengkaji ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan alat-alat
potensial yang dianugerahkan Allah kepada manusia sebagai berikut;
Al-lams dan
al-syum (alat peraba dab alat pembau), seperti dalam Qs. Al-An’am;7, dan
Qs.Yusuf; 94
Al-Sam’u (alat
pendengaran), seperti; Qs. Al-Isra’;36, al-Mu,minun; 78
Al-Abshar
(penglihatan) seperti; Qs.al-A’raf; 185, Yunus; 101 dan As-Sajdah; 27)
Al-Aql (akal
atau daya fikir), seperti; Ali Imran; 191, al-An’am; 50, Ar-Ra’d; 19, dan
Thaha; 53-54.
Al-Qalb
(kalbu), seperti Qs. Al-Hajj; 46, Qs.Muhammad; 24, Asy-Syu’ara; 192-194.
Dalam diskursus
para filosof Islam, manusia mempunyai bermacam-macam alat potensial yang
mempunyai kemampuan yang sangat unik, menurut mereka terdapat tiga macam jiwa
dalam diri manusia yang didalamnya terdapat beberapa potensi/daya yaitu;
a) Jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs
al-nabatiyah), mempunyai tiga daya yaitu; daya makan, daya tumbuh, dan daya
membiak.
b) Jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah),
mempunyai dua daya, yaitu; daya penggerak (al-muharrikah) berbentuk nafsu
(al-syahwah), amarah (al-ghadlab) dab berbentuk gerak tempat (al-harkah
al-makaniyah), dan daya mencerap (al-mudrikah), berbentuk indera indera lahir
(penglihatan, pendengaran, penciuman, dst.) dan indera bathin (indera
penggambar, indera pengreka, indera pengingat, dst.)
c) Jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah), yang
hanya mempunyai daya pikir yang disebut dengan akal. Akal terbagi menjadi dua;
akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi yang sifatnya
particulars, dan akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah
ada dalam materi, seperti Tuhan, roh, malaikat, dst. Akal ini bersifat
metafisis yang mencurahkan perhatian pada dunia immateri dan menangkap
keumuman.
Selanjutnya,
dalam diri manusia juga terdapat potensi-potensi dasar antara lain berupa
fitrah. Fitrah mempunyai beberapa pengertian, dan para ahli di kalangan Islam
pun telah memberikan berbagai macam formulasinya tentang fitrah, sehingga dapat
disimpulkan bahwa fitrah adalah merupakan potensi-potensi dasar manusia yang
memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh) dari
luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
Disamping
fitrah, terdapat juga potensi lainnya, yaitu nafsu yang mempunyai kecenderungan
pada keburukan dan kejahatan (qs. 12:53), untuk itu fitrah harus tetap
dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang apabila
disuplay oleh wahyu, sebab itu diperlukan pemahaman al-Islam secara kaffah
(universal). Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang kepada al-Islam,
semakin baik pula perkembangan fitrahnya.
Dengan demikian
komponen-komponen fitrah yang merupakan potensi-potensi dasar manusia adalah
meliputi hal-hal sebagai berikut;
a) Bakat dan kecerdasan, kemampuan pembawaan
yang potensial mengacu pada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah), dan
keahlian (profesional) dalam berbagai kehidupan
b) Instink atau ghorizah, suatu kemampuan
berbuat tanpa melalui proses belajar-mengajar, misalnya instink melarikan diri
karena perasaan takut, ingin tahu (curiosity), merendahkan diri karena perasaan
mengabdi, dst.
c) Nafsu dan dorongan-dorongan (drives),
misalnya nafsu lawwamah yang mendorong pada perbuatan tercela, nafsu amarah
yang mendorong pada perbuatan merusak, membunuh, nafsu birahi (eros) mendorong
pada pemuasan seksual, dan nafsu muthmainnah (religios) yang mendorong ke arah
ketaatan pada Yang Maha Kuasa.
d) Karakter atau tabiat, merupakan kemampuan
psikologis manusia yang terbawa sejak lahir, yang berkaitan dengan tingkah laku
moral, sosial serta etis seseorang, berhubungan dengan personalitas
(kepribadian) seseorang.
e) Heriditas atau keturunan, merupakan
faktor menerima kemampuan dasar yang diwariskan oleh orang tua
f) Intuisi, kemampuan psikologi manusia
untuk menerima ilham Tuhan, biasanya hanya dirasakan oleh orang yang bersih
atau ahli sufi.
Perbedaan Antara Kepribadian
Bangsa Timur dan Barat
Francis. L.K
Hsu. Sarjana Amerika keturunan Cina, yang mengkombinasikan dalam dirinya
keahlian didalam ilmu antropologi, psikologi, filsafat, dan kesusastraan cina
klasik (homeostatis psikologi).
Hsu. Telah
mengembangkan suatu konsepsi, bahwa dalam jiwa manusia sebagai makhluk sosial
budaya itu mengandung delapan daerah lingkaran konsentris sekitar diri pribadi.
Nomor 7 dan 6
disebut daerah tak sadar dan sub sadar, yang berada di daerah pedalaman dari
alam jiwa individu dan terdiri dari bahan pikiran dan gagasan yang terdesak
kedalam, sehingga tidak disadari oleh individu dan terlupakan.
Nomor 5 disebut
kesadaran yang tidak dinyatakan, pikiran-pikiran dan gagasan oleh individu
tetapi disimpan didalam jiwanya sendiri dan tidak dinyatakan oleh siapapun (karena
malu, takut salah, sungkan, tidak menemukan kata yang tepat, dan sebagainya).
Nomor 4
dinyatakan sebagai kesadaran yang terbuka, (pikiran-pikiran serta gagasan
maupun perasaan).
Nomor 3 disebut
lingkaran hubungan karib, mengandung konsepsi tentang orang-orang, binatang,
atau benda-benda yang diajak bergaul secara karib dan akrab.
Nomor 2 disebut
hubungan berguna, fungsi kegunaan (pedagang dan pembeli).
Nomor 1 disebut
lingkaran hubungan jauh, terdiri dari
pikiran-pikiran dan sikap dalam jiwa manusia, tetapi jarang mempunyai arti
dalam kehidupan sehari-hari.
Nomor 0 disebut
lingkungan dunia luar, terdiri dari pikiran-pikiran dan anggapan tentang
orang-orang diluar masyarakat dan Negara Indonesia.
Menurut L.K.
Hsu. à yang menggambarkan kepribadian manusia adalah daerah lingkaran nomor 3.
Hubungan yang berdasarkan cinta dan kemesraan dan juga rasa untuk bisa berbakti
penuh dan mutlak merupakan suatu kebutuhan fundamental dalam kehidupan manusia.
Tanpa adanya tokoh-tokoh, benda-benda kesayangan, tanpa Tuhan, tanpa ide dalam
jiwanya, hidup kerohanian manusia tidak akan bisa seimbang dan selaras.
Konsep lain
adalah konsep Jen. Dalam kebudayaan cina, yaitu; Manusia yang berjiwa selaras,
manusia yang berkepribadian, adalah manusia yang dapat menjaga keseimbangan
hubungan antara diri kepribadiannya dengan lingkungan sekitarnya yang paling
dekat.
Kebudayaan
timur à lebih mementingkan kehidupan rohani, mistik, gotong-royong,
keramah-tamahan, dan lainnya.
Kebudayaan
barat à mementingkan kebendaan, kelogisan, asa guna, dan individualisme.